Sekiranya Boleh Memilih Waktu..

Terekam dalam sejarah, tiga orang sholeh sedang beradu gagasan. Dialektika ilmiah menjadi kultur membiasa diantara para penghulu umat ini. Sudah barang pasti dialognya bermotif masa depan setelah kehidupan yang tentu akan ditinggal ini. Alam berpikir mereka melangit meninggalkan bumi yang ia tempati saat itu. Tiada sepatah kata yang sia-sia dari bibir mereka yang selalu terlumasi dzikir. Setiap huruf sarat makna setiap kalimat berbingkai hikmah. Itulah dia generasi yang Baginda nabi melabelinya dengan khoirul qurun (sebaik-baik generasi).

Telah duduk bersama, tiga ulama’ tabi’in, ahli ibadah, dan ahli zuhud, mereka adalah Sufyan Ats-Tsaury, Yusuf bin Asbath dan Wuhaib bin Al-Warad rahimahumullah, berbicara tentang kematian,

Ats-Tsauri berkata : Saya tidak suka jika mati mendadak sebelum hari ini, akan tetapi hari ini aku mengharapkan kematian.

Yusuf : Mengapa (anda berangan-angan jika kematian datang hari ini-pent)?

Ats-Tsauri : Karena aku takut fitnah !

Yusuf : Adapun saya, tidak membenci jika masih diberi umur panjang..

Ats-Tsauri : Mengapa engkau membenci kematian?

Yusuf : Agar aku dapat bertemu dengan suatu hari yang aku bertaubat di dalamnya dan beramal shalih. Bagaimana menurut pendapatmu wahai Wuhaib?

Wuhaib : Saya tidak memilih ini dan itu, apa yang aku suka adalah apa yang disukai oleh Allah Subahanahu!

Adapun Sufyan Ats-Tsauri, beliau takut jika dirinya terjebak oleh fitnah zaman dan tipu daya syetan, beliau melihat adanya perubahan dalam perilaku masyarakat, telah terjadi perbedaan antara generasi penghulu umat dengan generasi akhir zaman, sehingga beliau lebih suka jika kematian datang daripada hidup (dalam keadaan terkena fitnah-pent), hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam di dalam Al-Kitab Al-Aziz:

تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ ﴿١٠١

“wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih” (QS. Yusuf : 101).

Telah diriwayatkan hal itu oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah tatkala beliau berdo’a agar Allah mencabut nyawanya lantaran beliau khawatir bila terkena fitnah dan hawa nafsu.

Hal itu tidaklah berarti pesimis menghadapi tantangan hidup, bukan pula karena adanya kemadharatan yang menimpa mereka lalu merasa tidak kuat memikulnya, akan tetapi waspada terhadap datangnya fitnah yang datang laksana malam yang gelap gulita.

Dan jika Ats-Tsauri takut terhadap dirinya kalau-kalau akan terjebak kepada fitnah, padahal beliau hidup pada generasi yang utama, lantas bagaimana dengan generasi hari ini? Generasi ini hidup di zaman yang penuh sesak dengan fitnah dan hawa nafsu, badai kegoncangan dan kebinasaan meliputi di manapun berada? Saat di mana dosa dengan bangga menari di depan mata, kebanyakan manusiapun telah berpihak kepadanya. Pernahkah sekejap saja mengkhawatirkan seperti apa yang dikhawatirkan oleh Sufyan Ats- Tsauri?  Bahkan kebanyakan generasi hari ini hanya mengkhawatirkan nasib perut di masa depan. Pekerjaan semakin sulit didapat, kebutuhan meningkat dan persaingan hidup semakin ketat. Generasi ini hancur remuk redam tanpa sedikitpun berpikir nasib dari agama ini.

Yusuf bin Asbath memiliki sikap yang lain, beliau secara terang-terangan mengatakan bahwa tidak membenci jika diberi umur yang panjang, dan Ats-Tsauri memahami maksud pernyataan Yusuf bahwa hal itu berarti Yusuf membenci kematian dan berangan-angan jika dia masih hidup lama, maka beliaupun menanyakan sebabnya. Sebagai jawabannya, menurut Yusuf, umur yang panjang berarti kesempatan untuk mengganti apa-apa yang telah dia tinggalkan dan kesempatan untuk melipatgandakan amal shalihnya, sehingga hidup di dunia  baginya adalah tempat untuk beramal dan bersabar, maka mengapakah tergesa-gesa untuk pergi (dari dunia) sedangkan dia masih mendapatkan hari di mana dia mendapatkan kesempatan untuk mengangkat derajatnya di akherat?

Mari tundukkan kepala untuk merefleksi hari ini, kebanyakan atau bahkan seluruhnya sepakat dengan pendapat Yusuf dalam hal keinginan berumur panjang. Hanya saja berbeda dalam hal tujuan. Umur panjang seakan identik dengan kesempatan memuaskan syahwat, menunda taubat, atau berarti lama mengenyam indahnya jagat.

Adapun Wuhaib bin Al-Warad tidak menetapkan pilihan atas dirinya, kapan dia akan mati. Beliau katakan bahwa apa yang dipilihkan oleh Allah Subhanah bagi manusia adalah lebih baik dari pilihan manusia atas dirinya sendiri.

Maka, sesuatu yang paling dicintai oleh Allah adalah sesuatu yang beliau cintai pula. Dengan sikap ini, maka hati seorang mukmin dipenuhi dengan rasa ridha, bahagia dan aman, dia melihat kehidupan serba indah, tiada rasa takut dan rasa khawatir, tidak sedih dan tidak gelisah, karena dia ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah.

Tiga sikap yang berbeda, namun yang dituju adalah sama, yakni akhir masa yang indah. Bisa jadi yang paling rajih adalah sikap yang terakhir, karena dia ridha dan yakin akan rahmat Allah, sekalipun sikap kedua lebih rajih dari sikap yang pertama, karena di dalamnya ada angan-angan, cita-cita dan berharap untuk mendapatkan kebaikan dalm hidupnya. Dan karena sikap kedua merealisasikan hadits yang mulia yang mana Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian berangan-angan untuk mati karena adanya kemadharatan yang menimpanya dan sabda Nabi : “janganlah salah seorang di antara kalian berangan-angan untuk mati, jika dia dalam keadaan berbuat baik ia dapat menambah kebaikannya, dan jika dia masih berbuat jahat ia dapat bersegera untuk taubat.”

Kapanpun mengharapkan datangnya ajal, tentunya bekal untuk menghadapinya tersiapkan dari sekarang, karena tidak selalu ajal datang sesuai dengan waktu yang diinginkan seseorang. Oh andai saja bisa memilih waktu…

(Tersusun bersamaan dengan meninggalnya

Mas Adri (gembong) // penghubung ustadz masjid pesayangan

purbalingga lor)

Tinggalkan komentar