Hujan di Awal Senja

Tak kurang lima purnama kemarau mendera bumi. Rerimbunan bambu dipinggir sungai menguning layu tak hijau ranau lagi. Ujungnya menjuntai kering, aduhai tak elok mata menatap. Sementara sungai di bawahnya tak lagi berisik gemercik. Hanya sedikit air mengalir di sela-sela bebatuan tanpa lumut. Semuanya tertatap semu tanpa segar. Semaian padi yang biasanya menghijau ranau bak permadani menghampar, kini ia pucat pasi antara hidup segan mau tak mau.

Lima purnama lebih mentari menatap tajam bumi tanpa halang awan. Semut-semut merah berjalan seolah menghiba dan merindu petrikor. Perigi-perigi kini haus menganga dan tak setetes airpun tertelan dikerongkongannya yang lebar. Daun-daun randu terhempas kering dibawa angin siang tanpa lembab. Sedemikian juga retakan-retakan tanah mengering mengerontang mengharap langit berturun hujan menyegarkannya.

Hampir dipastikan tak jauh beda lelayu pepohonan yang terdera kemarau berbanding dengan hati yang jauh dari guyuran petuah. Yah… ia sama-sama kering. Bukankah hati juga butuh siraman untuk menyegarkannya. Dan itu hanya dirasakan oleh mereka yang sadar akan kondisi hati. Namun amboi sayangnya, hanya hitungan jari tangan populasi pemilik hati yang tuntas sadar akan kondisi hatinya. Hingga ia mengering, layu dan berujung mati. Para pemilik hati yang mati ini pada hakekatnya ia telah mati tatkala jasadnya masih bergas waras.

Pada stadium lanjut, pohon nan layu it’s imposible untuk berbuah. So,..ia tak banyak diharap kebermanfaatannya. Dan begitu pula hati nan kering. Ia nihil kesejukkan. Memandangnya tak lagi anugerah. Bahkan pada tataran fatal justru ia hadirkan kesialan dan musibah. Berbanding terbalik ketika memandang para pemilik hati yang subur. Seolah segudang problema berasa pecah telor tanpa banyak kata untuk terucap. Masyaalloh.

“Salah satu kematian hati adalah tidak adanya kesedihan atas kesempatan ibadah yang terlewat dan tidak adanya penyesalan atas kehilafan yang pernah dilakukan.” Ini adalah petikan perkataan seorang ulama akan hati.  Ada juga perkataan ulama yang lain, beliau adalah Syekh Ibnu Ajibah menyebutkan tiga tanda kematian hati: pertama, tidak bersedih atas kesempatan ibadah yang terlewat; kedua tidak menyesali perbuatan buruk yang telah dilakukan; dan ketiga persahabatan dengan orang-orang lalai yang juga mati hatinya

Segala puji mutlak miliknya Alloh SWT. KepadaNyalah tempat mengabdi dan kepadaNyalah tempat segala ketergantungan. Setelah sekian waktu hujan terindukan, awal senja ini ia hadir menyapa bumi lagi. Dahaga yang lama terasakan oleh rerimbunan bambu seolah terjawab sudah dengan guyuran segarnya. Semoga tak lama lagi berisik gemericik air di anak sungai segera terdengar lagi.

Ibnu Abu Hatim berkata, ayahku bercerita kepadaku, Muhammad bin Basysyar bercerita, Yazid bin Harun bercerita, Mis’ar bercerita, dari Zaid al-‘Ama, dari Abu al-Shiddiq al-Naji, ia berkata: Nabi Sulaiman ‘alaihissalam keluar (dari istananya) untuk meminta hujan. Tiba-tiba ia menjumpai seekor semut yang berbaring dengan punggungnya (terlentang), (dan) semua kakinya diangkat menghadap langit.

Semut itu berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami adalah salah satu dari makhluk-Mu. Kami sangat memerlukan guyuran air (hujan)-Mu. Jika Kau tidak mengguyuri kami (dengan air hujan-Mu), Kau akan membuat kami binasa.”

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata: “Pulanglah, sudah ada (makhluk lain) selain kalian yang berdoa meminta hujan.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 6, h. 184)

Tentu hujan yang tercurah senja ini tak pantas diri menjadi jumawa, karena sebuah kisah yang membuat kita wajib malu dengan semut merah. Kalau dulu pernah diajari obbie messakh tentang rasa malu dengan semut merah dalam rangka bermaksiyat menanti pacar, saatnya diri berpola malu karena ternyata do’a semutlah yang menembus pintu-pintu langit hingga hujan mengguyur bumi.

Keponggok, 09 Jumadil Awal 1445 H

Untuk para pemilik malu fii sabilillah…


Tinggalkan komentar